Wisata Sejarah Ke Pulau Penyengat
Perjalanan menuju Tanjung Pinang ini bukan untuk pertama kalinya bagi saya, tapi pertama kali bagi Deasy yang langsung memutuskan ikut saya berlibur ke Singapore dan Bintan saat kami sedang makan malam bersama teman-teman.
Perjalanan kali ini menuju Tanjungpinang membuat saya
terbengong-bengong. Gila, banyak banget nih perubahannya! Ada penambahan ruas
jalan, ada persimpangan baru... hahaha... mendadak lost in the city!
Sebelum sampai di Tanjungpinang, kami sempat mampir di SMA tempat Ibu
Een eh Ibu Eny istrinya Mas Gembong mengajar. Hwaaa... kejutan untuk Ibu Een!
Kami berpelukan melepas rindu. Sayang, tawaran untuk menginap di rumah mereka
harus saya tolak karena besok pagi-pagi saya sudah ada agenda sebelum
meninggalkan Bintan Resorts.
~~~
“Mamak, kami dah sampai di Pinang nih. Jumpa kat mana?” Tanya saya
melalui telfon.
“Jalan lah dulu, mau ke mana?” Mamak Syafliana balik bertanya di ujung
telfon.
“Kami rencana nak makan siang dulu, lepas tu nyeberang ke Penyengat,”
jawab saya.
“Hah... pegilah dulu, aku masih di tengah laut nih. Nanti jemput lepas
dari Penyengat je lah,” balas Mamak. Bahagia rasanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Melayu lagi...
hahaha...
Sebelum nyeberang ke Pulau Penyengat, kami mampir di sebuah kedai makan
tak jauh dari Plantar yang kami tuju.
Menu makan siang kami lontong sayur, prata, otak-otak khas Bintan dan Teh O.
Total yang harus kami bayar tak sampai Rp. 50.000,- untuk kami bertiga.
Secara geografis, Pulau Penyengat ini terletak di sebelah barat Kota Tanjungpinang
(0˚56’ LU dan 104˚29’BT) dan panjangnya pulau ini kira-kira 2km dengan lebar
1km. Kecil ya? Tapi ngga cukup 1 jam untuk mengitari pulau yang sarat dengan
peninggalan sejarah itu.
Perjalanan menuju Pulau Penyengat yang berjarak kurang lebih 1,5km itu
kami tempuh dengan menggunakan Pompong, sejenis kapal kayu dengan mesin yang
merupakan alat transportasi laut turun temurun. Saya sendiri kurang paham
kenapa namanya jadi Pompong. Mungkin karena dulu bunyi mesinnya “pompong pong
pong pong...” mungkiiiiin. Untuk menggunakan jasa transportasi laut ini, dikenakan
biaya sebesar Rp. 5.000,-/orang (tahun 2012). Dan tanpa menunggu terlalu lama,
pompong yang kami tumpangi segera meninggalkan Pelantar saat seluruh penumpang
sudah naik. Mmm... bau air laut menyeruak disela-sela obrolan antar penumpang
yang saya simak diam-diam *pura-pura menikmati laut...*
“Adek mau kemana?” Tiba-tiba seorang ibu bertanya pada kami ketika
melihat kami siap-siap saat pompong mulai perapat di plantar.
“Kami mau keliling Penyengat, bu. Sekalian mau ke masjid dan nyekar ke
makam,” jawab saya sopan.
“Oh, kalau gitu, adek-adek ini turun di plantar satu lagi. Lebih dekat.
Kalau turun di sini nanti kejauhan. Nanti kita turun sama-sama,” ibu itu
menjelaskan.
Hoooh... iya, lupa deh kalau ada plantar yang sudah dibangun permanen
tak jauh dari Masjid Raya Sultan Riau yang sudah terlihat bangunannya dari
kejauhan tadi. Tiba di plantar yang dituju, sisa penumpang termasuk kami
bertiga siap-siap naik. Sampai di atas, saya mengedarkan pandangan. Masih ada
bangunan lama berupa rumah panggung khas Pulau Penyengat, ada deretan becak
motor berjajar rapi. Kaki kami melangkah mendekati salah satu becak motor itu
setelah puas foto-foto. Tarif untuk naik becak motor ini Rp. 25.000,-/becak
motor dan bisa keliling pulau untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di
pulau itu.
Tapi demi melihat saya yang gendud dan sepertinya abang becak itu sudah
mencium gelagat ogi akhirnya terjadilah tawar menawar yang lumayan alot sampai
akhirnya terjadi kesepakatan antara kami dengan abang becak motor itu, 1 becak
untuk bertiga dengan tarif... uuummm.. hahaha jujur, lupa berapa ya tarifnya
waktu itu? *hadeuh... gini nih efek nunda postingan sampe setaun!*
Tujuan pertama, kami ke Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun pada
tahun 1832. Masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII
Raja Abdurrahman (Marhum Kampung Bulang). Bangunan utama mesjid ini ukurannya
18m x 20m yang ditopang oleh 4 buah pilar beton. Di keempat sudut masjid
terdapat menara yang biasa dipergunakan sebagai tempat Bilal mengumandangkan
Adzan. Nah, dilihat dari kejauhan pun akan terlihat kalau di atas bangunan ini
terdapat kubah yang bentuknya seperti bawang merah berjumlah 13. Katanya sih,
kalau ditotal itu sama dengan jumlah rakaat Sholat Fardhu 5 waktu sehari
semalam, yaitu 17. Luas lahan masjid ini kira-kira 32,5m x 54,5m dikelilingi
pagar tembok yang sekokoh bangunannya. Pembangunan mesjid ini juga katanya
menggunakan putih telur yang dicampur kapur, pasir dan tanah liat untuk memperkuuat
struktur dinding tembok. Jangan mikirin berapa kilo telur yang dibutuhkan untuk
ngebangun masjid sekokoh ini! Oiya, di komplek masjid ini ada 2 bangunan
berbentuk seperti saung yang berada di sisi sebelah kiri dan kanan pintu
gerbang. Bangunan ini namanya Rumah Sotoh.
Di sana, saya sempat menunaikan janji saya, dan kali ini saya beruntung
karena bisa shalat di dalam masjid. Alhamdulillah. Setelah lulus kuliah, saya
diberi kesempatan untuk bisa sampai di Pulau Bintan dan Pulau Penyengat selain
Singapore tentunya. Ngomong-ngomong, di dalam masjid ini ada sebuah kotak kaca
yang di dalamnya tersimpan Al-Qur’an tua berukuran besar.
Sebenarnya, di Pulau Penyengat ini ada 4 komplek makam bersejarah,
yaitu Komplek Makam Engku Puteri (komplek Pemakaman diraja Dalam Besar),
Komplek Makam Raja Ja’far dan Raja Ali, Komplek Makam Raja Haji Fisabillilah dan
Komplek Makam Raja Abdul Rahman. Karena waktu saya terbatas, jadilah perjalanan
kemudian dilanjutkan ke komplek Pemakaman Engku Puteri saja. Engku Puteri Raja
Hamidah adalah permaisuri Sultan Raja III, Sultan Mahmud Syah. Pulau Penyengat
ini merupakan mahar pernikahan mereka. Semasa hidupnya, Engku Puteri dikenal
sebagai pemegang alat-alat kebesaran kerajaan Riau Lingga. Di komplek pemakanan ini terdapat makam Raja Ali Haji. Menurut sejarah,
Raja Ali Haji adalah seorang sastrawan Melayu yang berperan besar dalam
perkembangan Bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia sekarang
ini. Mahakarya Raja Ali Haji yang terkenal adalah Gurindam XII yang bisa dibaca
di sekeliling ruang tempat Engku Puteri dimakamkan.
Selesai berziarah ke Dalam Besar, abang becak menawarkan kami untuk
melanjutkan ziarah. Tapi karena waktu yang sempit akhirnya kami memilih
langsung ke Balai Adat. Di perjalanan, kami melewati gedung yang kondisinya
ngga terawat, katanya sih itu Gedung Tengku Bilik. Karena ngga berniat untuk
mampir, akhirnya kami minta abang becak untuk melambatkan laju becak yang kami
tumpangi.
Gedung Tengku Bilik ini tidak terlalu jauh dari Balai Adat Indera
Perkasa. Tiba di Balai Adat, kami disambut oleh pengurus Balai Adat. Saya
langsung menuju perigi tua yang ada di bawah eh... di kolong Balai Adat yang
memang bentuk bangunannya panggung itu terdapat perigi tua. Menurut penjelasan
bapak tua, di sekitar Balai Adat ada beberapa perigi tua, namun dari hasil
pemeriksaan, perigi tua yang posisinya dekat dengan pintu utama itu kualitas
airnya paling bagus... diatas air kemasan yang dijual di toko. Katanya.
Entahlah, tapi saya sempat cuci muka dan minum air itu. Rasanya sama seperti
air kemasan dan sejuk seperti air pegunungan. Setelah mendapat penjelasan dan
dari pak tua, kami minta ijin untuk masuk ke Balai Adat yang dominasi bahan
bangunannya kayu dan berwarna coklat. Masuk ke dalam Balai Adat, kami berjalan di atas karpet merah... iya, red
carpet! Menuju pelaminan khas Melayu yang didominasi warna-warna cerah seperti
kuning, merah, hijau cerah... Ruangan Balai Adat ini luaaaas sekali!
Saya
penasaran, apakah Balai Adat ini masih dipergunakan oleh penduduk setempat
untuuuuk... ya misalnya rembukan warga atau kenduri? Melirik jam di gadget,
kami harus segera meninggalkan Balai Adat. Akhirnya kami pamitan. Oiya, Balai Adat ini view-nya menghadap ke laut. Bagus deh. Dan kalau
diperhatikan, di seberang Balai Adat ini ada plantar kecil yang sepertinya sih
sudah sangat jarang digunakan.
Sebetulnya, kami belum mengunjungi semua tempat bersejarah di pulau ini
seperti Sumur Putri, Gedung Misiu, Benteng Bukit Kursi, Bekas Gedung Tabib,
Bekas Rumah Hakim, Bekas Istana Kedaton, Benteng Bukit Penggawa. Mungkin lain
waktu... Insya Allah.
Dalam perjalanan kembali ke plantar, kami minta abang becak untuk
mampir di Komplek Istana Kantor. Bangunannya masih kokoh walau agak kurang
terawat. Sayang banget, padahal kalau dirawat dan dimanfaatkan seperti Masjid
Raya Sultan Riau itu, pasti oke banget tuh!
Kami meninggalkan pulau Penyengat kira-kira satu jam setelah kami tiba
di Plantar. Iya, kami harus menunggu lama karena saat itu pompong ngga akan
berangkat kalau jumlah penumpang sedikit. Kami baru bisa berangkat setelah sisa
tempat yang kosong dibayar oleh salah seorang penumpang. Pfiuh! Nyaris aja ngga
bisa balik ke Tanjungpinang... Di perjalanan menuju Tanjungpinang saya baru
sadar kalau sajadah saya tertinggal di masjid. Ya ampun! Kok bisa lupa ya?!?
Ngga mungkin dong saya minta abang pompong putar balik demi supaya saya bisa
ambil sajadah yang tertinggal... hehehe...
~~~
Tiba di Tanjungpinang, kami bertiga bergegas ke mobil. Kami harus
jemput Mamak Syafliana dulu sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Bintan
Resorts. Sempat nyasar gara-gara saya ngga menyimak instruksi Mamak...
hahaha... terpaksalah putar balik, dan cari-cari alamat yang Mamak sebutkan di
telfon. Ketemu!
Kami sempat mampir juga di tempat penjual gulai kambing yang katanya Mas
Gembong sih rasanya juara! Membeli 2 porsi gulai kambing untuk Mas Gembong
*pssttt... upeti karena dipinjemin mobil gratis hihihi*
Sepanjang perjalanan kami bertukar cerita sambil diam-diam saya
perhatikan langit.
“Kita bisa sampai Lagoi sebelum sunset ngga ya?” Tanyaku ke Danang yang
mengemudikan mobil.
“Bisa sih, tapi sepertinya ngga ada sunset, mba. Mendung tuh...,” jawab
Danang ragu.
Hwaaaaaaaaaaa... iya mendung! Aaarrrggghhh... lupakan keinginan untuk
melihat sunset!
~~~yang punya blog~~~
Akhirnya memang saya harus puas dengan perjalanan tanpa menikmati sunset
di BBT FT atau Kelong yang kerennya juara!
Oiya, beberapa data saya kutip dari Peta Wisata Pulau Penyengat yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang – Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata.
Haish....sudah pernah nginjak masehh gagap memjawabbb, plis dehhhh #jitak :P
BalasHapus@Mak Icoel: Itu dieeeeee... nyebelin kaaaan
BalasHapusnggak terasa dah setaun juga...
BalasHapusmenu makanannya menggugah jiwaaa...
BalasHapusmenu makanannya menggugah jiwaaaa...
BalasHapusTetep gak konsen liat makanannya.. Kayaknya gue cocok jadi traveler kuliner deh..
BalasHapusaghhh...saya tersengat! jadi pengen kesana juga, detil banget yah informasinya :)
BalasHapusOh iya, Pompong itu periode dimana ulat bulu sebelum berubah jadi kupu-kupu yah, kak? heheheh mungkin namanya pom-boat atau ketinting? *dibahas*
@Bapak: Iya ya, udah lepas 1 tahun
BalasHapus@Ragil: Wajib dicoba Gil!
@Pak Jaf: Hehehe...
@Ilham: Ayo! Kita atur waktunya. Aku berencana ke sana lagi, tapi lewat jalur Batam biar sekalian bisa ke Jembatan Barelang. Hahaha... itu kepompong Ilham... hahaha