Satu Malam Di Lagoi
Deasy di BBT Ferry Terminal |
Kembali ke Bintan Resorts,
seperti membawa kembali kenangan ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di
kawasan ini. Tempatnya tenang, jarang ada kendaraan tapi terlihat tertata
dengan rapi dan apik. Saya jatuh hati pada tempat ini. Begitu juga ketika staff
HRD membawa saya ke kawasan yang katanya perumahan karyawan atau biasa disebut housing.
Bangunan compound 4 rumah dibawah satu atap dan berderet-deret itu,
agak-agak mirip tempat tinggal yang ada di serial Melrose Place *ketauan umur!*
Begitu masuk ke dalam, langsung melihat ruang tamu dan ruang makan tanpa sekat,
ada dapur yang lengkap (minus gas sih waktu itu!), kamar mandi yang tidak luas,
dan dua kamar tidur. Satu untuk teman baru saya yang sama-sama dari Jakarta,
satu kamar lagi terletak di sisi kanan itu untuk saya. Kamarnya cukup luas.
Bukan main, semua sudah lengkap. Saya langsung merasa nyaman.
Jadi, ketika saya mengusulkan
untuk menginap di Bintan Lodge, sebetulnya salah satu pertimbangan saya adalah
karena konsep bangunannya sampa persis seperti housing, jadi... bagi saya saat itu, saya seperti pulang ke rumah.
Selain itu, lokasinya yang juga bertetangga dengan tempat tinggal saya dulu,
artinya juga bertetangga dengan teman-teman saya yang masih tinggal dan bekerja
di Bintan Resorts, saya juga bisa jalan kaki ke Pujasera dan Pasar Oleh-Oleh. Entah
ya, tapi saya benar-benar ingin menikmati suasana di Bintan Resorts saat itu
seperti ketika saya masih tinggal di sana. Menghirup udara yang bebas polusi.
Whaaa... rindunya saya dengan semua itu.
Deasy yang saat itu jadi teman
seperjalanan, pasrah menyepakati usulan saya. Mungkin sebenarnya dia juga
penasaran dengan tempat tinggal saya dulu...hehehe
~~~
Mobil yang kami tumpangi memasuki
kawasan Bintan Resorts jam lima lewat. Kami memilih untuk langsung menuju
Bintan Lodge. Saya sendiri akhirnya harus melupakan keinginan untuk melihat sunset-nya Bintan Resorts karena cuaca
yang ngga mendukung.
Traveling bag yang sejak saya check-in
tadi saya tinggalkan di salah satu sudut kamar, akhirnya saya buka setelah
menikmati beberapa menit empuknya kasur kamar lodge. Deasy yang memilih kamar
dengan 2 tempat tidur, memutuskan untuk mandi dulu sementara saya yang sekamar dengan
Mamak Syafliana sibuk chit-chat
sambil saya membongkar isi traveling bag.
Satu persatu, kami bergantian
mandi dan siap-siap keluar lodge lagi. Mamak memilih untuk sidak ke BBT Ferry
Terminal, sedangkan saya dan Deasy memilih ke housing dan Pujasera. Sempat mampir ke housing Ignasius ‘Pacet’ dan
Tina. Surprise untuk mereka saat melihat saya berdiri di depan pintu housing-nya yang terbuka.
Puas ngobrol dengan Pacet dan
Tina, kami menelusuri jalan setapak yang paving
block-nya ditata apik. Kiri kanan jalan setapak itu bangunan housing yang penghuninya sebagian saya
perhatikan ada di dalam, sebagian lagi gelap. Kami menaiki 3 anak tangga untuk
sampai ke pelataran parkir yang cukup luas. Berjalan kaki sambil sesekali
melihat ke langit yang bebas polusi. Kami menuruni 3 anak tangga lagi setelah
melewati sebuah bangunan kecil berisi beberapa mesin cuci. Dan tepat di salah
satu compound, saya berhenti. Saya
amati lantai bawah, gelap. Kalau ngga salah 2 unit di bawah itu memang sudah
tidak berpenghuni. Saya amati lantai atas, satu unit diterangi cahaya lampu
meja dan sebelahnya gelap. Itu... itu tempat tinggal kedua saya dulu setelah
sebelumnya sempat ditempatkan di lantai bawah.
Pelan saya menaiki anak tangga
menuju teras housing yang dindingnya
sudah berwarna biru. Dulu, saya sering duduk di anak tangga itu saat malam
tiba. Menikmati langit Lagoi malam hari yang bertabur bintang. Dulu, setiap weekend ketika saya sedang off duty,
saya biasa beres-beres housing sampai
menata beberapa pot anggrek yang sering ditinggal pemiliknya. Kadang saya taruh
berjejer menuruni anak tangga, kadang saya susun rapi berderet dekat pinggir
balkon menuju tangga tanpa takut ada yang mengambil.
“Meit, itu yang terang itu bintang kejora kan ya?” teriak Nia dari arah pelataran parkir depan housing kami, sesaat setelah dia turun dari mobil.“Hah?! Bintang kejora? Bintang kejora mah cuma ada di lagu kayaknya... itu yang terang planet kan...,” sahut saya dari anak tangga.“Ooooh...hahaha...salah ya?”Saya nyengir.
Ah, ya...ada banyak cerita
keseharian di housing ini. Saya
mengaktifkan kamera di gadget,
mengabadikan beberapa kali dinding dan pintu unit housing tempat tinggal saya dulu. Dan kegiatan terhenti ketika
samar saya mendengar ada suara tv dan orang (sepertinya) sedang bercakap-cakap.
Saya melongok ke bawah, gelap. Buru-buru saya menarik tangan Deasy untuk
menuruni anak tangga. Sampai di bawah, saya sempat berbalik dan memperhatikan 4
unit housing. 3 gelap 1 ada cahaya, mungkin dari unit itu. Deasy masih terlihat
kebingungan ketika saya kembali menarik tangannya untuk segera menyingkir dari
sana.
Setelah agak jauh, saya berhenti
bentar. Mengatur nafas, dan pelan-pelan saya menjelaskan ke Deasy.
“Iya, gue juga denger sih.
Kayaknya dari yang ada nyala lampunya itu...,” kata Deasy ketika saya selesai
menjelaskan kenapa saya sampai menarik tangannya. Saya hanya mengangguk sambil
mengajaknya untuk segera ke Pujasera. Jalan kaki.
Menuruni bukit sambil bercerita,
tanpa terasa kami sudah sampai di Pujasera. Saya langsung mengajak Deasy ke
arah stall-stall penjual berbagai masakan. Masih ada Lamak Basamo, sudah
ekspansi jadi 2 stall, ada stall
koperasi Wira Artha yang menjual khusus minuman...eh, bukan minuman keras lho
tapinya..., lalu...
“Ibu!” saya memanggil seorang ibu
yang sedang sibuk di dalam stall masakan khas Jawa Timur.
“Mbak!” Si ibu penjual masakan
khas Jawa Timur itu. Kami berpelukan, bertukar cerita.
Setelah membeli makanan di sana,
saya pamit dan melangkahkan kaki ke salah satu toko di seberang deretan stall makanan. Di toko itu saya membeli
beberapa makanan ringan dan air mineral. Dan berhubung uang pecahan saya
kurang, akhirnya saya menyerahkan uang SGD5.00. Deasy bengong. Saya menerima
kembalian dalam Rupiah. Kami meninggalkan toko dengan 1 kantong keresek besar
berisi belanjaan kami.
“Eh, kok lu tadi bayar pake
dollar?”
“Iya Deas, di sini SGD berlaku
juga sebagai alat bayar transaksi, termasuk kalau kita beli sayur atau
kebutuhan dapur di pasar belakang stall-stall ini...,”
“Bisa?”
“Bisa. Bayar pake SGD tapi
dikembaliin Rupiah, dan mereka nerima uang SGD yang udah dilipet-lipet juga
tanpa mengurangi nilai tukar. Beda banget ya sama di Jakarta, kalo udah ada
lipetan nilai tukarnya pasti berkurang...hehehe...”
Kami melangkahkan kaki ke luar
dari area Pujasera. Perjalanan kembali ke Bintan Lodge membutuhkan tenaga
ekstra, karena jalan menuju ke lodge
menanjak. Duh!
~~~
Beberapa menit kami tiba di
lodge, suasana lodge terasa lebih meriah. Bukan hanya oleh suara dari tv atau
suara saya dan Deasy saja, tapi Mamak Syafliana datang bersama Mba Irma dan
Amrizal, kemudian datang juga Marno. Seru... obrolan di meja makan dan ruang
tamu yang tanpa sekat itu menemani makan malam kami.
Cerita tentang Mba Irma yang
sekarang di operasional BBT FT, Amrizal yang sudah lebih baik posisinya di
ticketing BBT FT, Marno yang sudah pindah ke salah satu resort yang ada di
kawasan Bintan Resorts dan Mamak Syafliana yang usahanya bareng Bapak sudah
berkembang ke arah positif banget.
Jam 10 malam satu persatu pamit.
Kami pun satu persatu masuk ke kamar. Kami harus bangun pagi besok untuk
keliling resorts sebelum kembali ke Jakarta via Singapore.
Satu malam di Lagoi untuk
menuntaskan kangen memang ngga cukup, tapi lebih baik dari pada tidak sama
sekali. Berharap lain kali ada kesempatan untuk bermalam lebih dari satu malam,
dan kalau diijinkan di housing yang
dulu...
~~~yang punya blog~~~
Setelah ini saya mau cerita tentang beberapa lokasi di Bintan Resorts.
Ahhh...ceritanya belum kelar, yang suara berisik dari salah satu kamar itu beneran ada orangnya kan?...terus saya juga baru tahu klo uang yang sudah terlipat di Jakarta bisa berkurang nilainnya, maksudnya bagaimana yah? kasih contoh dong? [-(
BalasHapus@Ilham: suara orang ngobrol dari salah satu unit itu ada orangnya hehehe... cuma waktu itu saking kagetnya langsung ngacir :))... oh itu mata uang asing, seperti USD, MYR, SGD. Biasanya uang kertas kan suka kita lipat dua atau asal masuk dompet/saku baju/celana, akhirnya si uang kertas ini kan suka ada lipatan atau agak2 lecek. Nah kalau seperti di Jakarta biasa nilai tukar uang itu berkurang beberapa point, sama seperti kalau ada sedikit coretan. Di Bintan Resorts, dengan kondisi uang kertas seperti itu masih sama nilainya dengan uang kertas yg masih mulus. Biasanya transaksi di toko atau Pujasera :D
BalasHapusOh, mata uang asing toh...iyalah, wajar jika nilainya berkurang eh tapi kok rupiah gak seperti itu yah perlakuannya
BalasHapus@Ilham: Aku pernah juga nuker Rupiah di SG. Nilainya ngga berubah, mungkin karena lokasi money changernya di pelabuhan yang jadwal ferry ke Bintan dan Batam banyak.
BalasHapus