Pengalaman Isolasi Mandiri
Setelah berbulan-bulan menjaga diri, mengikuti protokol kesehatan (prokes) yang berlaku, lebih banyak di rumah. Tapi akhirnya harus mengalami isolasi mandiri. Kok bisa? Seperti apa rasanya?
Jadi begini...
Aku inget sekali itu hari Rabu siang, jadwal WFH. Sedang masak nasi liwet. Lalu sambil menunggu nasi liwet jadi, aku beli lauknya dari warung makan dekat dengan tempat tinggalku. Tanpa berpikir apapun, aku beli dan buru-buru balik.
Selesai makan, temenku pulang. Ada yang bisikin ke aku, bahwa teman serumah si pelayan warung itu sempat berinteraksi dengan OTG seminggu sebelumnya dan hari Seninnya baru dinyatakan positif COVID-19! *glek* Lemas? Iya! Kesal? Pasti! Apalagi katanya tadinya aku ngga akan dikasih tau. Emosiku terpancing. Kenapa mesti disembunyikan? Aku berhak untuk tau, karena itu menyangkut kesehatan dan keselamatanku. COVID-19 itu bukan aib kok. Tapi kita memang harus waspada. Dan aku sikapi ini dengan serius. Aku ngga tau apakah si pelayan itu OTG atau bukan, apakah dia reaktif atau tidak, dll.
Setelahnya aku buru-buru email atasan dan HRD kantor. Penting karena aku terikat peraturan perusahaan dan prokes perusahaan. Karena ragu, akhirnya aku minta ijin WFH sampai bisa test. Aku juga komunikasi dengan teman yang mengerti dan punya banyak relasi dokter, diantaranya malah aktif menangani pasien COVID-19. Dari beliau aku dapat saran bagus:
- lakukan Swab Antigen test dihari ke-3 jika muncul gejala, tapi
Bagi aku, COVID-19 itu real, tapi bukan aib. Jadi tidak perlu ditutupi, cukup disikapi dengan bijak supaya kita juga bisa waspada. Mengikuti prokes yang sudah ditetapkan itu penting, untuk memutus mata rantai. Jangan abai dan jumawa.
Lebay kah sikapku? Well, that's fine. Buat aku, I am better being lebay than sorry.
Jadi begini...
Aku inget sekali itu hari Rabu siang, jadwal WFH. Sedang masak nasi liwet. Lalu sambil menunggu nasi liwet jadi, aku beli lauknya dari warung makan dekat dengan tempat tinggalku. Tanpa berpikir apapun, aku beli dan buru-buru balik.
Selesai makan, temenku pulang. Ada yang bisikin ke aku, bahwa teman serumah si pelayan warung itu sempat berinteraksi dengan OTG seminggu sebelumnya dan hari Seninnya baru dinyatakan positif COVID-19! *glek* Lemas? Iya! Kesal? Pasti! Apalagi katanya tadinya aku ngga akan dikasih tau. Emosiku terpancing. Kenapa mesti disembunyikan? Aku berhak untuk tau, karena itu menyangkut kesehatan dan keselamatanku. COVID-19 itu bukan aib kok. Tapi kita memang harus waspada. Dan aku sikapi ini dengan serius. Aku ngga tau apakah si pelayan itu OTG atau bukan, apakah dia reaktif atau tidak, dll.
Setelahnya aku buru-buru email atasan dan HRD kantor. Penting karena aku terikat peraturan perusahaan dan prokes perusahaan. Karena ragu, akhirnya aku minta ijin WFH sampai bisa test. Aku juga komunikasi dengan teman yang mengerti dan punya banyak relasi dokter, diantaranya malah aktif menangani pasien COVID-19. Dari beliau aku dapat saran bagus:
- lakukan Swab Antigen test dihari ke-3 jika muncul gejala, tapi
- lakukan Swab Antigen test dihari ke-7 atau ke-8 jika tidak muncul gejala.
Selama isolasi mandiri, rasanya bagaimana? Karena sudah lama 100% WFH dan 50% WFH, sebetulnya biasa. Yang tidak biasa, intensitasku keluar kamar dan membuka pintu kamar jadi jarang. Aku keluar kamar, hanya untuk siram tanaman dan buang sampah saja. Selebihnya semua kegiatan di kamar saja. Dinikmatin aja. Ya ada sedikit drama dihari pertama aku melakukan isolasi mandiri.
Jadi kegiatan selama isolasi mandiri itu, selesai shalat subuh, buka pintu kamar, siram semaian, keluarkan tanaman air yang biasa aku taruh di kamar mandi supaya dapat cahaya matahari. Bagaimana dengan kebutuhan makan dan minum? Kebetulan, aku bisa masak di kamar, jadi kalau mau masak ya pagi-pagi, supaya bisa buka mintu kamar. Kamar mandi sendiri, jadi ngga khawatir untuk keluar masuk kamar. Sebelum menutup pintu seharian, aku semprot kamar pakai disinfektan dulu, setelah itu baru pintu kamar ditutup lagi, sampai lihat sikon. Jika sore-sore di luar sepi, aku buka pintu untuk siram tanaman, dan masuk kamar lagi. Pernah minta tolong temen buat beliin beberapa bahan makanan, jadi aku transfer uang ke rekeningnya, terus nanti pesananku digantung di pagar, aku ambil, semprot disinfektan, baru masuk kamar. Pernah juga pesan gofood, tapi ya gitu, aku buru-buru keluar dan buru-buru masuk kamar.
Disela-sela waktu, aku mulai mencari lokasi untuk melakukan test. Sesuai arahan, dihari ke-3 ngga ada gejala, aku sedikit lega. Bismillah aman! Dan pencarian lokasi terus dilakukan. Sampai dihari ke-7, aku pikir, sepertinya aku genapkan dihari ke-8 aja. Tapi diluar perhitungan, dihari ke-8 pagi, asam lambungku naik. GERD sepertinya. makin siang makin ngga nyaman. Akhirnya setelah lewat jam 1an siang, aku order taxi online, dengan perhitungan kalau cuma sebentar, aku bisa lanjut ke lokasi test, walaupun harus drive thru, pikirku, nanti mungkin bisa nego dengan drivernya.
Sampai di RS Setia Mitra, aku langsung ke bagian registrasi, untuk minta ke IGD. Di IGD ada pemeriksaan dan aku setuju untuk diinfus. Tekanan darahku agak tinggi saat dicek, mungkin karena panik dan menahan sakit juga. Ngga mungkin faktor makanan, karena aku jaga betul asupanku. Selama 1 jam diinfus lumayan buat merem walau ngga bisa nyenyak juga. Selesai infus, masih terasa sakit tapi sudah mendingan. Aku urus pembayaran dan ambil obat. Sambil menunggu pengambilan obat, aku coba daftar untuk test melalui aplikasi, pilih jadwal jam 18:00WIB dan ternyata sudah habis slotnya. Too bad! Akhirnya aku langsung WA Mayapada Hospital Jakarta Selatan untuk daftar test keesokan harinya. Kebetulan mereka ada test dengan opsi non drive thru. Berhasil dan diminta datang antara jam 08:00-15:00WIB untuk daftar ulang dulu.
Jadi kegiatan selama isolasi mandiri itu, selesai shalat subuh, buka pintu kamar, siram semaian, keluarkan tanaman air yang biasa aku taruh di kamar mandi supaya dapat cahaya matahari. Bagaimana dengan kebutuhan makan dan minum? Kebetulan, aku bisa masak di kamar, jadi kalau mau masak ya pagi-pagi, supaya bisa buka mintu kamar. Kamar mandi sendiri, jadi ngga khawatir untuk keluar masuk kamar. Sebelum menutup pintu seharian, aku semprot kamar pakai disinfektan dulu, setelah itu baru pintu kamar ditutup lagi, sampai lihat sikon. Jika sore-sore di luar sepi, aku buka pintu untuk siram tanaman, dan masuk kamar lagi. Pernah minta tolong temen buat beliin beberapa bahan makanan, jadi aku transfer uang ke rekeningnya, terus nanti pesananku digantung di pagar, aku ambil, semprot disinfektan, baru masuk kamar. Pernah juga pesan gofood, tapi ya gitu, aku buru-buru keluar dan buru-buru masuk kamar.
Disela-sela waktu, aku mulai mencari lokasi untuk melakukan test. Sesuai arahan, dihari ke-3 ngga ada gejala, aku sedikit lega. Bismillah aman! Dan pencarian lokasi terus dilakukan. Sampai dihari ke-7, aku pikir, sepertinya aku genapkan dihari ke-8 aja. Tapi diluar perhitungan, dihari ke-8 pagi, asam lambungku naik. GERD sepertinya. makin siang makin ngga nyaman. Akhirnya setelah lewat jam 1an siang, aku order taxi online, dengan perhitungan kalau cuma sebentar, aku bisa lanjut ke lokasi test, walaupun harus drive thru, pikirku, nanti mungkin bisa nego dengan drivernya.
Sampai di RS Setia Mitra, aku langsung ke bagian registrasi, untuk minta ke IGD. Di IGD ada pemeriksaan dan aku setuju untuk diinfus. Tekanan darahku agak tinggi saat dicek, mungkin karena panik dan menahan sakit juga. Ngga mungkin faktor makanan, karena aku jaga betul asupanku. Selama 1 jam diinfus lumayan buat merem walau ngga bisa nyenyak juga. Selesai infus, masih terasa sakit tapi sudah mendingan. Aku urus pembayaran dan ambil obat. Sambil menunggu pengambilan obat, aku coba daftar untuk test melalui aplikasi, pilih jadwal jam 18:00WIB dan ternyata sudah habis slotnya. Too bad! Akhirnya aku langsung WA Mayapada Hospital Jakarta Selatan untuk daftar test keesokan harinya. Kebetulan mereka ada test dengan opsi non drive thru. Berhasil dan diminta datang antara jam 08:00-15:00WIB untuk daftar ulang dulu.
Selesai urusan di RS, langsung pulang. Bersih-bersih, shalat, dan child pose aka nungging untuk meredakan nyeri otot punggung dan mengurangi nyeri lambung. It works! Well, at least for me!
Bagaimana hasil testnya? Tunggu postingan berikut ya...
~~~yang punya blog~~~
Bagi aku, COVID-19 itu real, tapi bukan aib. Jadi tidak perlu ditutupi, cukup disikapi dengan bijak supaya kita juga bisa waspada. Mengikuti prokes yang sudah ditetapkan itu penting, untuk memutus mata rantai. Jangan abai dan jumawa.
Lebay kah sikapku? Well, that's fine. Buat aku, I am better being lebay than sorry.
Komentar
Posting Komentar